Financial distress
merupakan kondisi keuangan yang terjadi sebelum kebangkrutan ataupun likuidasi. Menurut Atmini (2005),
financial distress adalah konsep luas yang terdiri dari beberapa situasi di mana suatu perusahaan menghadapi masalah
kesulitan keuangan. Istilah umum
untuk menggambarkan situasi ini
adalah kebangkrutan, kegagalan,
ketidakmampuan melunasi hutang dan default. Ketidakmampuan
melunasi hutang menunjukkan
kinerja negatif dan menunjukkan
adanya masalah likuiditas. Default berarti suatu
perusahaan melanggar
perjanjian dengan kreditur dan dapat menyebabkan tindakan hukum.
Dikutip dari Suroso (2006), insolvency, kondisi dimana perusahaan
tidak dapat menyelesaikan liabilitasnya, dapat dibedakan dalam 2 kategori,
yaitu :
1. Technical Insolvency
Bersifat sementara dan munculnya karena perusahaan
kekurangan kas untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendek.
2. Bankruptcy Insolvency
Bersifat
lebih serius dan munculnya ketika total nilai liabilitas melebihi nilai total
aset perusahaan atau nilai ekuitas perusahaan negatif.
Banyak
faktor yang dapat menyebabkan perusahaan menghadapi financial distress yaitu antara lain kenaikan biaya
operasi, ekspansi berlebihan, ketinggalan teknologi, kondisi persaingan,
kondisi ekonomi, kelemahan manajemen perusahaan dan penurunan aktifitas
perdagangan industri (Wruck, 1990 dalam Whitaker, 1999). Dalam kondisi ekonomi
yang tidak buruk, kebanyakan perusahaan yang mengalami financial distress adalah akibat dari kelemahan
manajemen (Whitaker, 1999).
Indikator
yang menunjukkan apakah suatu perusahaan mengalami financial distress antara lain ditandai dengan adanya
pemberhentian tenaga kerja atau hilangnya pembayaran dividen, serta arus kas
yang lebih kecil daripada hutang jangka panjang (Whitaker, 1999), atau jika
selama 2 tahun mengalami laba bersih operasi negatif dan selama lebih dari 1
tahun tidak melakukan pembayaran dividen, sedangkan Wahyujati (2000)
mendefinisikan financial
distress jika perusahaan
mengalami net income negatif selama 3 tahun.
Sebelum
terjadi kebangkrutan, hampir semua perusahaan akan mengalami financial distress, kecuali apabila
terjadi kejadian-kejadian diluar dugaan, seperti bencana alam, perubahan
regulasi yang mempengaruhi operasional perusahaan, dan lain sebagainya. Namun
demikian, ada suatu kondisi dimana perusahaan yang mengalami financial
distress mungkin memiliki operasi
yang layak dari pemanfaatan aset-aset riil-nya dan dengan demikian tidak tertekan secara ekonomi. Karena adanya suatu tekanan dari para
krediturnya, pada akhirnya perusahaan yang masih memiliki prospek bagus
tersebut dapat dilikuidasi dengan sangkaan telah mengalami gagal bayar (default).
Model prediksi kebangkrutan yang
bermunculan
merupakan antisipasi dan sistem
peringatan
dini terhadap financial distress karena model tersebut dapat digunakan sebagai
sarana untuk mengidentifikasikan bahkan memperbaiki kondisi
sebelum sampai pada kondisi krisis atau
kebangkrutan. Laporan keuangan dapat dijadikan dasar untuk mengukur
kondisi financial distress suatu perusahaan melalui
analisis laporan keuangan
dengan menggunakan rasio – rasio keuangan
yang ada.
Rasio keuangan
bermanfaat dalam memprediksi kebangkrutan bisnis untuk periode satu sampai lima tahun sebelum
bisnis tersebut benar-benar bangkrut (Nasser
& Aryati,
2000). Dikutip dari penelitian Evanny (2012), Profitabilitas yang diproksi
dengan return on total assets
memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap kondisi financial distress perusahaan otomotif
di Bursa Efek Indonesia
(Widarjo dan Setiawan, 2009), tetapi rasio tersebut
tidak memiliki pengaruh pada perusahaan manufaktur (Platt
& Platt, 2006).
Profit margin
on sales mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap kondisi financial distress perusahaan manufaktur (Almilia
& Kristijadi, 2003). Sedangkan
profit margin
on sales tidak
mempunyai pengaruh terhadap
kondisi financial distress perusahaan manufaktur
menurut Brahmana (2007). Penelitian Platt dan Platt (2006)
mendukung penelitian yang dilakukan Brahmana (2007).
Lebih lanjut, leverage yang diukur dengan current
liabilities
total
assets
mempunyai pengaruh negatif
dan signifikan terhadap
kondisi financial distress perusahaan manufaktur
pada penelitian Almilia
dan Kristijadi (2003).
Penelitian yang dilakukan
oleh Widarjo dan Setiawan (2009)
current liabilities total assets tidak
mempunyai pengaruh terhadap
kondisi financial distress perusahaan otomotif yang didukung
oleh penelitian Platt dan Platt (2006)
terhadap kondisi financial distress perusahaan manufaktur.
Faktor-faktor
Penyebab Financial Distress
Financial distress dapat timbul karena adanya pengaruh
dari
dalam perusahaan sendiri (internal) maupun dari luar perusahaan (eksternal). Damodaran (2001)
menyatakan, faktor penyebab financial distress dari dalam perusahan lebih bersifat mikro,
faktor-faktor dari dalam perusahaan tersebut adalah :
1. Kesulitan
arus
kas
Terjadi ketika penerimaan pendapatan perusahaan
dari
hasil operasi
perusahaan
tidak cukup untuk menutupi bebab-beban usaha yang timbul
atas aktivitas operasi perusahaan. Kesulitan
arus kas
juga
disebabkan adanya kesalahan manajemen ketika mengelola aliran kas perusahan untuk
pembayaran aktivitas perusahaan yang memperburuk kondisi
keuangan
perusahaan;
2. Besarnya jumlah hutang
Kebijakan pengambilan hutang perusahaan untuk menutupi biaya
yang timbul akibat operasi perusahaan akan menimbulkan kewajiban bagi
perusahaan
untuk
mengemba-likan hutang di masa depan. Ketika tagihan
jatuh tempo dan perusahaan tidak
mempunyai cukup dana untuk membayar tagihan-tagihan yang
terjadi
maka kemungkinan yang
dilakukan kreditur adalah
mengadakan penyitaan harta perusahaan untuk menutupi kekurangan pembayaran tagihan tersebut;
3. Kerugian dalam kegiatan operasional perusahaan
selama beberapa tahun
Kerugian operasional
perusahaan menimbulkan arus kas
negatif
dalam perusahaan. Hal ini dapat terjadi karena beban operasional lebih besar dari pendapatan
yang diterima perusahaan.
Jika perusahaan mampu menutupi atau menanggulangi tiga hal di atas, belum tentu perusahaan tersebut
dapat terhindar dari
financial distress.
Karena masih terdapat
faktor eksternal perusahaan
yang menyebabkan financial
distress. menurut Damodaran (2001)
faktor eksternal perusahaan lebih bersifat makro,dan cakupannya lebih luas. Faktor eksternal dapat berupa kebijakan pemerintah yang
dapat menambah beban usaha yang di tanggung perusahaan, misalnya tarif pajak yang meningkat yang dapat menambah beban perusahaan. Selain itu masih ada
kebijakan suku bunga pinjaman yang meingkat, menyebabkan beban bunga yang
ditanggung perusahaan meningkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar